AJIP Rosidi. |
KIMCIPEDES.COM, MAGELANG. | INDONESIA kembali kehilangan sastrawan besarnya. Setelah ditinggal sastrawan Sapardi Djoko Damono pada Minggu (19 Juli 2020), Rabu (30 Juli 2020) pukiul 22.30 WIB, sastrawan dan budayawan Ajip Rosidi meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tidar, Magelang.
Dikutip dari Antara, salah seorang anak Ajip Rosidi, Nundang Run menyampaikan bahwa sebelum meninggal dunia, ayahnya menjalani operasi di RSUD Tidar akibat perdarahan di otak. Ajip terjatuh di rumah anaknya di Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Ajip Rosidi merupakan sastrawan dan pengarang serba bisa. Lahir di Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat pada 31 Januari 1938, Ajip Rosidi sangat dekat dengan Kota Bandung dan Jawa Barat. Prestasinya sebagai sastrawan, sebagian diukir di kota berjuluk Kota Kembang ini. Di Kota Bandung ia mempunyai perpustakaan bernama Perpustakaan Ajip Rosidi yang terletak di Jalan Garut.
Ajip Rosidi menggeluti sastra Sunda dan sastra Indonesia. Ensiklopedia Sastra Indonesia mencatat, tahun 1953 sampai 1960 merupakan masa produktif sang penyair.
Kiprah Ajip di bidang sastra dimulai sejak bersekolah di sekolah dasar (SD). Kelas enam SD ia sudah menulis dan tulisannya dimuat dalam Surat Kabar Indonesia Raya. Ketika ia berusia empat belas tahun, karya-karyanya dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia, Siasat, Gelanggang, dan Keboedajaan Indonesia. Ajip menulis puisi, cerita pendek, novel, drama, terjemahan, saduran, kritik, esai, dan buku yang erat kaitannya dengan bidang ilmu yang dikuasainya, baik dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia.
Karya pertamanya berjudul Tahun-Tahun Kematian diterbitkan oleh Penerbit Gunung Agung tahun 1955. Kemudian disusul Pesta yang diterbitkan oleh Penerbit Pembangunan (1956), dan Di Tengah Keluarga yang diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka (1956).
Saat berusia 15 tahun dan masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), Ajip remaja sudah menjadi pengasuh majalah Soeloeh Peladjar. Pada usia 17 tahun ia menjadi redaktur di Majalah Prosa. Tahun 1964-1970 Ajip menjabat redaktur penerbit Tjupumanik. Tahun 1968-1979 ia menjadi redaktur Budaya Jaya dan tahun 1966-1975 menjabat Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Sunda dan memimpin penelitian pantun dan folklor Sunda.
Tahun 1967 ia bekerja sebagai dosen Universitas Padjadjaran dan tahun 1965-1968 ia menjabat sebagai Direktur Penerbit Duta Rakyat. Ajip Rosidi adalah orang yang tidak sepi dengan pekerjaan. Pada tahun 1971-1981 ia memimpin Penerbit Dunia Pustaka Jaya. Tahun 1973-1979 ia juga memimpin Ikatan Penerbit Indonesia. Selanjutnya tahun 1973-1981 ia terpilih menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Tahun 1978-1980 Ajip pernah mendapat kesempatan sebagai anggota staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, yaitu Daud Jusuf.
Setelah berkecimpung dalam dunia seni dan penerbitan di Indonesia, pada tahun 1980-an Ajip merantau ke Jepang. Di sana ia diangkat sebagai guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa-Bahasa Asing Osaka), guru besar luar biasa di Kyoto Sangyo Daigaku (Universitas Industri Kyoto), di Tenri Daigaku (Universitas Tenri), dan di Osaka Gaidai (Osaka University of Foreign Studies).
Peraih gelar doktor kehormatan, honoris causa, bidang ilmu budaya dari Universitas Padjadjaran ini, sejak tahun 1989 memberikan Hadiah Sastra Rancage kepada sastrawan atau budayawan daerah yang telah berjasa dalam bidang sastra dan budaya daerah, khususnya Sunda dan Jawa. Bersama beberapa sastrawan dan budayawan Sunda Ajip berhasil menyusun Ensiklopedi Kebudayaan Sunda (2001).
Banyak sekali karya sastra peninggal Ajip Rosidi, baik berupa puisi, cerita pendek, novel, dan esai. Ajip Rosidi juga banyak menerjemahkan karya-karya Bahasa Sunda ke dalam Bahasa Indonesia. Juga karya-karya Bahasa Jepang ke dalam Bahasa Indonesia.
Kumpulan puisi Ajip Rosidi antara lain, berjudul Ketemu di Djalan bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan, Pesta, Tjari Muatan, Surat Tjinta Endaj Rasidin, Djeram, Ular dan Kabut, Sajak-Sajak Anak Matahari, dan Nama dan Makna.
Karya-karyanya yang berupa kumpulan cerita pendek, antara lain berjudul Di Tengah Keluarga, Tahoen-Tahoen Kematian, Pertemuan Kembali, dan Sebuah Rumah buat Hari Tua. Karya-karyanya yang berupa novel, antara lain Perjalanan Pengantin dan Anak Tanah Air. Karya-karya berbahasa Sunda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain Mengurbankan Diri, Memuja Siluman, Jalan ke Surga, dan Dua Orang Dukun.
Sementara itu, karya-karya Ajip Rosidi berupa esai dan kritik sastra, antara lain, Cerita Pendek Indonesia, Kesusastraan Sunda Dewasa Ini, Kesusastraan Sunda Dewasa Ini, Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia, Pembinaan Kebudajaan Daerah Sunda, Jakarta dalam Puisi Indonesia, My Experience in Recording Pantun Sunda, Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia, Ngalangkang Kasusastraan Sunda, dan Hidup Tanpa Ijazah.
Pada 16 April 2017, Ajip Rosidi yang pernah menjadi wartawan ini, menikahi aktris senior Nani Wijaya di Masjid Agung Keraton Kasepuhan Cirebon. Nani Wijaya sebelumnya menikah dengan penulis Misbach Yusa Biran yang wafat pada 11 April 2012.
Meski usianya sudah berkepala 8, namun Ajip Rosidi masih berkarya. Saat usianya menginjak 80 tahun pada tahun 2018 lalu, ia sedang menyusun Kamus Istilah Sastra. Semangatnya terutama atas sastra dan bahasa memang tak pernah kendor. Kematianlah yang menghentikan semangatnya, namun tidak karyanya. Karyanya akan tetap dikenang oleh anak bangsa dan pecinta sastra. Kamis (30 Juli 2020), Ajip Rosidi yang meninggal dunia dalam usia 82 tahun, dimakamkan di pemakaman keluarga yang tak jauh dari kediamannya, di Desa Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Selamat jalan maestro Sastra Sunda.
Dikutip dari Antara, salah seorang anak Ajip Rosidi, Nundang Run menyampaikan bahwa sebelum meninggal dunia, ayahnya menjalani operasi di RSUD Tidar akibat perdarahan di otak. Ajip terjatuh di rumah anaknya di Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Ajip Rosidi merupakan sastrawan dan pengarang serba bisa. Lahir di Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat pada 31 Januari 1938, Ajip Rosidi sangat dekat dengan Kota Bandung dan Jawa Barat. Prestasinya sebagai sastrawan, sebagian diukir di kota berjuluk Kota Kembang ini. Di Kota Bandung ia mempunyai perpustakaan bernama Perpustakaan Ajip Rosidi yang terletak di Jalan Garut.
Ajip Rosidi menggeluti sastra Sunda dan sastra Indonesia. Ensiklopedia Sastra Indonesia mencatat, tahun 1953 sampai 1960 merupakan masa produktif sang penyair.
Kiprah Ajip di bidang sastra dimulai sejak bersekolah di sekolah dasar (SD). Kelas enam SD ia sudah menulis dan tulisannya dimuat dalam Surat Kabar Indonesia Raya. Ketika ia berusia empat belas tahun, karya-karyanya dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia, Siasat, Gelanggang, dan Keboedajaan Indonesia. Ajip menulis puisi, cerita pendek, novel, drama, terjemahan, saduran, kritik, esai, dan buku yang erat kaitannya dengan bidang ilmu yang dikuasainya, baik dalam bahasa daerah maupun bahasa Indonesia.
Karya pertamanya berjudul Tahun-Tahun Kematian diterbitkan oleh Penerbit Gunung Agung tahun 1955. Kemudian disusul Pesta yang diterbitkan oleh Penerbit Pembangunan (1956), dan Di Tengah Keluarga yang diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka (1956).
Saat berusia 15 tahun dan masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), Ajip remaja sudah menjadi pengasuh majalah Soeloeh Peladjar. Pada usia 17 tahun ia menjadi redaktur di Majalah Prosa. Tahun 1964-1970 Ajip menjabat redaktur penerbit Tjupumanik. Tahun 1968-1979 ia menjadi redaktur Budaya Jaya dan tahun 1966-1975 menjabat Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Sunda dan memimpin penelitian pantun dan folklor Sunda.
Tahun 1967 ia bekerja sebagai dosen Universitas Padjadjaran dan tahun 1965-1968 ia menjabat sebagai Direktur Penerbit Duta Rakyat. Ajip Rosidi adalah orang yang tidak sepi dengan pekerjaan. Pada tahun 1971-1981 ia memimpin Penerbit Dunia Pustaka Jaya. Tahun 1973-1979 ia juga memimpin Ikatan Penerbit Indonesia. Selanjutnya tahun 1973-1981 ia terpilih menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Tahun 1978-1980 Ajip pernah mendapat kesempatan sebagai anggota staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, yaitu Daud Jusuf.
Setelah berkecimpung dalam dunia seni dan penerbitan di Indonesia, pada tahun 1980-an Ajip merantau ke Jepang. Di sana ia diangkat sebagai guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa-Bahasa Asing Osaka), guru besar luar biasa di Kyoto Sangyo Daigaku (Universitas Industri Kyoto), di Tenri Daigaku (Universitas Tenri), dan di Osaka Gaidai (Osaka University of Foreign Studies).
Peraih gelar doktor kehormatan, honoris causa, bidang ilmu budaya dari Universitas Padjadjaran ini, sejak tahun 1989 memberikan Hadiah Sastra Rancage kepada sastrawan atau budayawan daerah yang telah berjasa dalam bidang sastra dan budaya daerah, khususnya Sunda dan Jawa. Bersama beberapa sastrawan dan budayawan Sunda Ajip berhasil menyusun Ensiklopedi Kebudayaan Sunda (2001).
Banyak sekali karya sastra peninggal Ajip Rosidi, baik berupa puisi, cerita pendek, novel, dan esai. Ajip Rosidi juga banyak menerjemahkan karya-karya Bahasa Sunda ke dalam Bahasa Indonesia. Juga karya-karya Bahasa Jepang ke dalam Bahasa Indonesia.
Kumpulan puisi Ajip Rosidi antara lain, berjudul Ketemu di Djalan bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan, Pesta, Tjari Muatan, Surat Tjinta Endaj Rasidin, Djeram, Ular dan Kabut, Sajak-Sajak Anak Matahari, dan Nama dan Makna.
Karya-karyanya yang berupa kumpulan cerita pendek, antara lain berjudul Di Tengah Keluarga, Tahoen-Tahoen Kematian, Pertemuan Kembali, dan Sebuah Rumah buat Hari Tua. Karya-karyanya yang berupa novel, antara lain Perjalanan Pengantin dan Anak Tanah Air. Karya-karya berbahasa Sunda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain Mengurbankan Diri, Memuja Siluman, Jalan ke Surga, dan Dua Orang Dukun.
Sementara itu, karya-karya Ajip Rosidi berupa esai dan kritik sastra, antara lain, Cerita Pendek Indonesia, Kesusastraan Sunda Dewasa Ini, Kesusastraan Sunda Dewasa Ini, Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia, Pembinaan Kebudajaan Daerah Sunda, Jakarta dalam Puisi Indonesia, My Experience in Recording Pantun Sunda, Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia, Ngalangkang Kasusastraan Sunda, dan Hidup Tanpa Ijazah.
Pada 16 April 2017, Ajip Rosidi yang pernah menjadi wartawan ini, menikahi aktris senior Nani Wijaya di Masjid Agung Keraton Kasepuhan Cirebon. Nani Wijaya sebelumnya menikah dengan penulis Misbach Yusa Biran yang wafat pada 11 April 2012.
Meski usianya sudah berkepala 8, namun Ajip Rosidi masih berkarya. Saat usianya menginjak 80 tahun pada tahun 2018 lalu, ia sedang menyusun Kamus Istilah Sastra. Semangatnya terutama atas sastra dan bahasa memang tak pernah kendor. Kematianlah yang menghentikan semangatnya, namun tidak karyanya. Karyanya akan tetap dikenang oleh anak bangsa dan pecinta sastra. Kamis (30 Juli 2020), Ajip Rosidi yang meninggal dunia dalam usia 82 tahun, dimakamkan di pemakaman keluarga yang tak jauh dari kediamannya, di Desa Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Selamat jalan maestro Sastra Sunda.
Posting Komentar