KIM Cipedes, Bandung - Pengelolaan depot air minum (DAM) perlu mendapatkan pengawasan secara eksternal dan internal. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi potensi terjadinya kejadian luar biasa (KLB) sanitasi seperti diare.
Demikian disampaikan oleh Yuntina Erdani, Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olah Raga (Kesling Kerjaor) Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Barat pada acara "Pertemuan Pembinaan bagi Pengusaha Depot Air Minum di Kota Bandung" yang diselenggarakan Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olah Raga (Kesling Kerjaor) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Rabu (10/10/2018), di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad).
Acara pembinana diikuti 86 peserta yang merupakan pengusaha Depot Air Minum (DAM) dan perwakilan Asosiasi Pengusaha DAM. Selain Yuntina, narasumber lain pada acara ini adalah, Dr. Ardhini Saptaningsih Raksanagara, dr., MPH., pengajar Departemen IKM FK Unpad dan Didi Purnama, SKM., MKM. dari BBTKL-PP Jakarta.
Yuntina yang mengangkat topik "Higiene Sanitasi DAM" selanjutnya menyampaikan, pengawasan eksternal terhadap pegelolaan DAM dilakukan oleh petugas sanitasi provinsi, kab/kota, dan KKP; sanitarian puskesmas; petugas penguji pada laboratorium kesehatan, masyarakat konsumen, serta mitra kerja terkait lainnya. Sedangkan pengawasan internal dilakukan oleh pengusaha DAM dan karyawannya.
"Titik kritis perhatian dalam penyelenggaraan DAM yang harus memenuhi prinsip-prinsip higiene sanitasi adalah, kualitas air minum, sumber daya manusia (operator/penjamah, tempat, peralatan, dan proses," katanya.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 492 Tahun 2010, setiap penyelenggara air minum wajib menjamin air minum yang diproduksinya aman bagi kesehatan. Hal ini meliputi kualitas air secara fisik, biologis, dan kimiawi.
Sementara itu, Dr. Ardhini Saptaningsih Raksanagara, dr., MPH. yang membawakan materi tentang "Peraturan Perundangan Higiene Sanitasi DAM" menyampaikan, hal yang terpenting dalam pengelolaan DAM adalah, kualitas air yang dihasilkan.
Ia mencontohkan, dalam pemasangan air mineral isi ulang, sering terdapat kasus ditemukan bakteri E.coli. Menurutnya, hal tersebut terjadi antara lain karena petugas atau operator tidak mencuci tangan dengan bersih, penggunaan alat yang tidak higienis, kesadaran pemilik dan petugas DAM yang rendah dalam menjaga kualitas air minum isi ulang yang diproduksinya, serta biaya operasional yang cukup mahal.
"Air minum yang bagus adalah, yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak mengandung bakteri/parasit, dan tidak mengandung logam berat," katanya.
Pemateri lainnya, yaitu Didi Purnama yang membawakan meteri "Teknologi Tepat Guna dan Teknis Pengolahan Air DAM" menyampaikan, ada persyaratan yang harus dipatuhi oleh penyelenggaraan DAM. Persyaratan tersebut meliputi desain dan konstruksi, bahan baku, mesin dan peralatan, produk air minum, sanitasi, higiene karyawan, serta penyimpanan dan penjualan.
Didi mengungkapkan, tidak semua persyaratan tersebut dipatuhi oleh pengusaha DAM. Contohnya masalah penempatan wadan penampungan air. Masih ada pengusaha yang menyimpan di sembarang tempat, padahal penempatan yang tidak sesuai akan menyebabkan rasa dan aroma air berubah.
"Rata-rata tempat penampungan air DAM terlalu pengap dan lembab, ini yang harus dihindarkan," katanya.
Persyaratan lain yang belum dipenuhi pengusaha DAM adalah, ketentuan tidak boleh menyegel galon. "Banyak pengusaha DAM yang menyegel galon. Padahal cara ini menyalahi aturan, karena nantinya bukan lagi sebagai air isi ulang tetapi menjadi air minuman kemasan," ujarnya.
Didi juga menyoroti masalah kesehatan karyawan pengelola DAM. "Kesalahan umum yang sering terjadi dalam pengelolaan DAM adalah, pengelola tidak memeriksakan kesehatan dirinya maupun pegawai," ujarnya.
Menurut Didi, seharusnya secara berkala pengusaha dan karyawan DAM memeriksakan rectal swab (usap dubur) untuk mengetahui apakah orang yang bersangkutan membawa bakteri berbahaya atau tidak. Pemeriksaan ini idealnya dilakukan setiap satu tahun sekali.***
Posting Komentar