KIM CIPEDES. R.E. MARTADINATA | Konfederasi Anti Pemiskinan (KAP) Indonesia merintis Program Peduli Konvensial Hak Anak dan Perlindungan Anak.
Ketua KAP Indonesia, Bambang Y. Sundayana menjelaskan Kelembagaan KAP Indonesia adalah sebuah lembaga non profit yang berkedudukan di Bandung, memiliki fokus untuk menguatkan kapasitas kelompok-kelompok marjinal yang terhambat aksesnya pada pendidikan, kesehatan, sumberdaya ekonomi, sosial budaya dan hukum, bekerja bersama komunitas atau kelompok- kelompok masyarakat sipil, serta berjejaring dengan berbagai pemangku kepentingan adalah strategi yang dilakukan KAP Indonesia," ungkap Bambang Y Sundayana pada Pelatihan Sistem Jurnalisme dan Program PEDULI Perlindungan Anak, bertempat di Hotel Tebu, Jl. RE. Martadinata - Bandung, (18/12/17).
Dalam beberapa tahun terakhir, melalui dukungan dari Kementerian Kordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI (KEMENKO PMK) serta The Asia Foundation, KAP Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Samin melaksanakan Program Peduli bagi anak marginal di Kota Bandung. Program peduli memiliki fokus pada isu inklusi sosial yang mensyaratkan pendekatan dua arah yaitu :
1. Pendekatan penguatan pada pihak yang terpinggirkan dan pendekatan perubahan perilaku pada masyarakat khalayak,
2. Membuka akses layanan dasar yang inklusif dari pemerintah
Program PEDULI yang dilaksanakan oleh KAP Indonesia di Kota Bandung adalah berupaya membuka akses layanan kesehatan reproduksi dan konseling bagi kelompok anak dan remaja yang terjebak dalam situasi eksploitasi seksual komersial atau sering dikenal dengan istilah AYLA (Anak yang Dilacurkan) atau ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak), melalui layanan kesehatan dan konseling Puskesmas di tiga kecamatan yaitu : Sukajadi, Cidadap, dan Cibeunying Kaler. Pemenuhan kesehatan reproduksi anak dan remaja adalah bagian dari pemenuhan HAK Anak yang tidak boleh diabaikan oleh negara tanpa terkecuali. Fenomena ESKA (Eksploitasi Seksual Komersial Anak) Praktik eksploitasi seksual komersial anak merupakan masalah mendesak di seluruh dunia yang perlu ditangani. Lebih dari 1 juta anak setiap tahun menjadi korban eksploitasi seksual komersial. Persoalan ESKA sangat kompleks sehingga membuat anak yang terjebak pada situasi ESKA sulit untuk keluar dari situasi tersebut. Dari pengalaman pendampingan muncul beberapa fakta lapangan, di antaranya adalah mayoritas mereka berada pada lapisan ekonomi bawah (keluarga miskin), mayoritas anak tidak mendapat dukungan keluarga/orang tua pada masa perkembangan dan proses pendidikan, gaya hidup konsumtif yang semakin tinggi karena didorong oleh pertumbuhan kota yang sangat cepat, pengalaman seksual yang sangat dini, tidak memiliki pemahaman kesehatan reproduksi yang baik (karena pendidikan kesehatan reproduksi masih menjadi barang tabu serta keberadaan layanan kesehatan reproduksipun masih terbatas atau belum diketahui oleh masyarakat), tidak ada kekuatan hukum untuk mengkriminalkan pengguna jasa seks anak, dan lain-lain.
Kompleksitas persoalan ESKA menjadikan mereka kelompok marjinal yang seringkali diabaikan hak-haknya baik oleh negara, komunitas bahkan keluarganya. Pemerintah dan komunitas lebih nyaman untuk menutup mata atas persoalan / fenomena ESKA. Mereka cukup diberi label sebagai anak-anak (laki-laki /perempuan) nakal’, tanpa ada upaya strategis untuk menyelesaikannya.
Penyelesaian instan seringkali mengorbankan anak itu sendiri, misalnya dikeluarkan dari sekolah atau sulit mendapatkan layanan kesehatan (padahal mereka rentan terhadap PMS karena sering dipaksa melakukan hubungan seks tidak aman bahkan menerima kekerasan fisik), serta tindakan pengucilan lainnya. Masyarakat umum pun sering menganggap mereka adalah kelompok ‘anak nakal’ yang harus dihindari atau dianggap sebagai ‘pengganggu moralitas’ yang merusak akhlak, sehingga tidak heran kalau semua pihak lebih nyaman memberikan penyangkalan mengenai keberadaannya. Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 28 B), Undang-undang Hak Asasi Manusia (pasal 33 dan pasal 29), dan Undang-undang Perlindungan Anak (pasal 13 dan pasal 59). Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang hak anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak Hak Anak). Sebagai implementasinya, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuannya menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan Anak dan Jurnalistik Di dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menjelaskan yang dimaksud perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Soal batasan umur anak, antara kode etik jurnalistik dan UU anak memang beda. Kode etik jurnalistik menyebut anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 16 tahun. Sedangkan UU Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berumur kurang dari 18 tahun. Sebagian media mengacu ke kode etik jurnalistik dalam soal umur, ada juga sebagian yang merujuk ke UU Perlindungan Anak.
UU No. 35 Tahun 2014 mempertegas peran aktif media untuk menghilangkan pelabelan negatif terhadap anak. Pengabaian kode etik oleh wartawan bukan tanpa konsekuensi. Jika kualitas pemberitaan media dalam mengangkat isu kekerasan, khususnya kekerasan seksual terhadap anak tidak diperbaiki, viktimisasi yang dilakukan oleh media terhadap korban anak akan berlanjut. Awak media sepatutnya mau mempelajari beragam literatur dan memiliki pengetahuan mengenai pemberitaan dan peliputan yang berhubungan dengan konteks eksploitasi dan kekerasan anak. Literatur yang dimaksud antara lain UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, UU Perlindungan Anak, serta Konvensi Tentang Hak Anak (misalnya larangan penyebutan identitas korban dalam pemberitaan). “kekerasan ulang” oleh media massa sering terjadi karena media itu menulis berita dengan mengabaikan kode etik, tak berempatik, dan tidak menggunakan perspektif anak dalam mengonstruksi fakta. Berkaitan dengan situasi di atas maka KAP Indonesia berkepentingan untuk menyelenggarakan satu diskusi dengan Jurnalis terkait Penulisan/Pemberitaan/Peliputan untuk Advokasi Perlindungan Anak di Kota Bandung. Harapannya agar media dapat menjadi mitra dari KAP Indonesia yang secara signifikan berperan aktif pada proses mewujudkan perlindungan anak.
Secara umum diskusi bertujuan untuk mencapai pemahaman bersama bagaimana mengemas penulisan / pemberitaan / peliputan tentang anak yang terjebak pada situasi seksual komersial. Secara khusus diskusi bertujuan :
1. Memahami fenomena dan fakta lapangan ESKA (Ekspoitasi seksual Komersial Anak) di Kota Bandung.
2. Memahami konsep inklusi sosial pada anak marjinal dikaitkan dengan pemenuhan Hak Anak.
3. Memahami prinsip-prinsip penulisan / pemberitaan / peliputan yang tidak melanggar Hak Anak.
4. Awak media mengambil bagian yang aktif dalam menyuarakan pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Anak
Peserta diskusi yang hadir diantaranya : • Para Jurnalis yang tertarik pada issue perlindungan anak marjinal. • Mahasiswa yang meminati jurnalistik.• Aktivis media komunitas • Forum Warga / Komunitas yang peduli pada perlindungan anak marjinal • NGO yang bekerja pada issue perlindungan anak. @Asep WH
Posting Komentar